Jumat, 17 Oktober 2014

Surat Terakhir, Tak Pernah Terkirim


Bandung, 12 Maret 2014


Kepada
Shanti Kusmiati
Majalengka

 
   Mamah. Hal terbaik yang pernah kumiliki. Hadiah terindah dari Tuhan. Apa pun kekurangan dan kelebihanmu, takkan pernah terganti.

      Air matamu, peluhmu, rintihan sakitmu, lahir dan batinmu... Semua bukan lah apa-apa. Semua bukan untuk siapa-siapa. Melainkan curahan kasih sayang yang tak berbatas untuk anakmu.

      Kelak. Ketika Mamah pergi. Bukan untuk sementara. Bukan dalam hitungan waktu. Aku pasti akan kelimpungan. Kemana harus dituju untuk bisa berjumpa lagi dengan sosok luar biasamu? Kemana harus kuhubungi untuk dapat mendengar lagi suara familiar itu? Suara yang sudah melekat bahkan ketika aku masih sebatas janin dalam rahimmu. Dan saat aku terbangun... Matahari mungkin masih bersinar. Tapi ketika aku berbalik, tak ada lagi hangat sentuhan tubuh dan genggaman tanganmu. Ternyata aku tertidur sendiri. Dan akan begitu seterusnya.

     Mungkin aku tidak bisa jujur menangis. Aku tak sanggup. Ku simpan untuk diri sendiri dan biar kutumpahkan di hadapan Tuhan. Dia Maha Tahu segala yang terbaik. Biar kupasrahkan pedihku ini. Mungkin aku tidak bisa menunjukkan kasih sayang yang kupunya. Aku tak mampu. Cukup Tuhan yang tahu.

     Aku merasa berdosa besar sampai saat ini belum mampu merawatmu dengan tanganku sendiri. Sampai saat ini belum mampu menghidupimu dengan hasil keringatku sendiri. Sampai saat ini belum mampu memberikanmu apa-apa yang berarti. Sampai saat ini belum mampu membahagiakanmu. Hanya bisa menemani sepintas, apa itu cukup berarti bagimu? Aku banyak salah. Meminta maaf pun semuanya kupasrahkan pada keridhoanmu. Sedang untuk semua khilaf dan salahmu, semua masa lalu buruk kita, aku maafkan semuanya Mah. Anggap semua sedih, sakit, kecewa, dan perjuangan yang menimpaku dulu tak pernah terjadi. Aku belajar mensyukurinya kini. Dengan segenap hati kumaafkan. Kumaafkan...

    Mamah. Bila anakmu adalah satu-satunya alasan engkau masih berjuang hidup hingga sekarang. Biar kubisikkan... "Mah.. Doakan aku menjadi wanita shalehat, baik budi, selamat dunia-akhirat, dan bermanfaat. Itu cukup... Seandainya Mamah tahu, berat melepasmu karena ini untuk selamanya. Tapi aku juga tak sampai hati melihatmu terus berjuang hidup di tengah ketidakberdayaan. Tak perlu dipaksakan lebih lama lagi. Beristirahatlah dengan tenang, lepaskan semuanya Mah... Mungkin bukan rangkaian bunga, melainkan rangkaian doa yang akan kukirim. Ya Tuhan, kumohon.. luruhkan segala dosa beliau melalui ketabahan sakitnya. Ridhoilah surga-Mu bagi bidadariku ini. Aku menyayangi Mamah, tapi tetap tak sebesar sayangmu padaku. Terima kasih Mah..."


Salam   hangat


Anakmu      



Aku berdoa untuk keselamatanmu di sana.

Menjagamu tanpa menjagamu. Memelukmu dari jauh.

Sabtu, 19 November 2011

Surga yang Melupakanku

Perhatikan..
Kulihat dia..
Tubuh ringkih
Terduduk lemah
Menatap lurus ke depan
Apa gerangan yang dia lihat melalui kedua bola matanya?
Yang pasti
Bukan pemandangan yang ada di hadapannya
Apa yang mampu dia lihat dengan kedua matanya yang gelap buram?
Wajahku pun tak mampu lagi dia pandang

Terbayang..
Aku akan beranjak dewasa tanpa dapat dia saksikan
Dia hanya bisa mendengar..
Bisikan semilir angin yang menggoyang rerumputan
Mendengar..
Lontaran cerita dari bibir orang lain
Tak dapat melihat sendiri
Hanya gelap yang dia hadapi

Terngiang..
Ucapannya yang terbata-bata
Bingung harus berucap apa
Ingatannya yang mulai luntur
Merenggut hampir seluruh kenangan indah antara kami

Teringat..
Dahulu..
Sosok itu memang pernah meninggalkanku
Demi meraih kebahagiaannya sendiri
Sementara kebahagiaanku
Dia pertaruhkan
Namun tak mengapa
Karena bagiku
Dia berhak mengecap kebahagiaan

Tapi kini cerita berubah
Tuhan menurunkan cobaan padanya
Dan di saat itu
Tuhan memanggilku kembali
Kembali ke pelukannya

Meski pun jarang kuberucap
Perlu dia tahu ini :

"Apa pun yang telah dan yang akan kau perbuat
 Aku menyayangimu
 Dan begitu seterusnya
 Karena aku anakmu
 Orang ketiga yang menyayangimu setelah kedua orang tuamu
 Maka ketika kedua orang tuamu pergi..
 Aku lah yang akan berdiri paling depan untuk mencintaimu"

Rabu, 16 November 2011

Why The Scout Doesn’t Interesting For Teenager



            Kepanduan”, atau barangkali di Indonesia lebih dikenal dengan nama “kepramukaan, tampaknya mulai terlupakan dari benak para remaja-remaja masa kini dan bahkan bisa dibilang hampir tidak diminati lagi oleh mereka. Sebuah realita pahit yang memang harus kita terima di era millennium ini. Bagaimana mungkin saya tidak menyatakan fakta tersebut? Dahulu, Organisasi Gerakan Pramuka Indonesia dianggap sebagai organisasi yang berwibawa, bergengsi, serta hebat. Para pramukanya pun juga sangat dielu-elukan, disegani, dan bahkan menjadi sangat istimewa di mata masyarakat pada era kejayaannya itu. Namun seiring dengan terjadinya dinamika pada diri bangsa Indonesia, di era millennium ini pamor pramuka seakan anjlok di mata masyarakat. Kini kondisi Gerakan Pramuka Indonesia tidak seperti yang dahulu lagi. Tidak lagi di elu-elukan, dianggap tidak terlalu istimewa, serta sering pula disepelekan oleh masyarakat, dan berbagai macam hal lainnya lagi. Bahkan di beberapa pangkalan, gugus depan pramuka itu mati”, yang berarti tidak ada tanda-tanda kehidupan organisasi kepramukaan di sana. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana sikap pesimistis seorang kepala sekolah terhadap organisasi kepramukaan di sekolahnya sendiri. Jika dibiarkan seperti ini terus, bukan mustahil bila suatu saat nanti Gerakan Pramuka Indonesia akan benar-benar kandas atau punah.

Padahal, jika ditilik dari segi manfaatnya, kepramukaan memiliki segudang manfaat yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kepramukaan sesungguhnya membangun karakter manusia yang mandiri, berani, bertanggungjawab, berwibawa, teladan, serta serba bisa. Tetapi jika kondisi Gerakan Pramuka Indonesia saja terseok-seok dan bahkan tidak diminati lagi oleh masyarakat utamanya para remaja seperti saat ini, maka bagaimana bisa para remaja era millennium ini menjadi manusia yang berkarakter atau berjiwa pramuka? Maka jangan heran apabila di era millennium ini banyak para remaja yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma yang berlaku di masyarakat Indonesia, baik itu norma hukum, norma kesopanan, norma agama, maupun norma kesusilaan. Sungguh disayangkan..
Kesadaran dari dalam pribadi masing-masing mengenai pentingnya manfaat kepramukaan pun perlu ditumbuhkan sejak dini. Namun ini tidak berarti di setiap sekolah terutama Sekolah Dasar (SD), kegiatan kepramukaan jadi diwajibkan. Sebab jika diwajibkan, maka jumlah anggota organisasi kepramukaannya pun otomatis akan menjadi membludak, bila kondisinya seperti demikian, maka dapat dipastikan bahwa proses pelatihan kepramukaannya sendiri tidak akan berjalan dengan maksimal dan efektif-efisien, akibatnya sebagian dari para anggota banyak yang terlantar dan malah hanya menggunakan seragam pramuka saja tanpa mengetahui makna dari kepramukaan itu sendiri. Ketika mereka melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, mereka lebih cenderung berpikir bahwa pramuka di SMP sama saja seperti pramuka pada saat di SD.  Memang jika dilihat secara kasat mata, kegiatan seperti berkemah dan lomba tidak ada yang beda, namun jika dilihat secara lebih mendetil maka akan terlihat banyak sekali perbedaan diantara keduanya, seperti perbedaan cara melatih, proses pelatihan, kegiatan-kegiatan, dan rasa kekeluargaan. Justru di saat-saat SMP lah seorang penggalang itu mulai betul-betul dibutuhkan, karena jika dilihat dari segi pemikiran,  jalan fikiran pramuka penggalang SMP lebih bisa dengan mudah menalar dan menyerap semua makna serta manfaat dari kepramukaan itu sendiri, sehingga untuk kedepannya akan dapat terbentuk bibit-bibit unggul dari para pramuka yang mungkin suatu saat akan mampu membawa nama baik Indonesia di kancah dunia Internasional.

Dukungan keluarga juga menjadi salah satu faktor kelangsungan kepramukaan di Indonesia ini. Namun yang menjadi masalah saat ini adalah, sebagian besar anak-anak Indonesia zaman sekarang terlalu dimanja oleh keluarganya, yang pada akhirnya mengakibatkan sikap ketidakmandirian, penakut, bergantung pada orang lain, dan malas pada diri anak-anak itu. Contohnya saja, jika ada suatu kegiatan kepramukaan yang menyangkut tentang pembinaan kemandirian diri, keberanian, kerjasama, dan tanggungjawab, anak-anak itu malah merasa minder atau bahkan mereka cenderung jadi merasa kapok dan tidak mau lagi terlibat dalam kegiatan kepramukaan. Hal itu otomatis pula menjadi penyebab dari munculnya pendapat-pendapat negatif mengenai kepramukaan dari benak para orang tua. Nah, ini adalah salah satu contoh masalah yang acap kali menjadi batu sandungan untuk mengembangkan kepramukaan di Indonesia pada zaman sekarang ini. Padahal, bukankah yang namanya sikap kemandirian, keberanian, dan tanggungjawab itu adalah penting?
Untuk kedepannya, organisasi kepramukaan di setiap pangkalan memang harus lebih ditingkatkan lagi eksistensinya dan tentunya juga harus lebih didukung lagi oleh berbagai pihak yang bersangkutan, seperti dukungan dari pihak keluarga, pihak diri sendiri, pihak pangkalan, dan tentu dari pihak gugus depannya juga. Tapi ini tidak berarti ekstrakulikuler kepramukaan di setiap pangkalan menjadi diwajibkan, namun bangkitkanlah kesadaran pada diri masyarakat utamanya para remaja, akan pentingnya manfaat dari kepramukaan itu sendiri.

    Bandung, 13 November 2011
     Created  by
Mikyal  Amaeni & Carissa Tibia W.